Selasa, 02 Juni 2015

Haru

Haru


“Aku tidak mencoba untuk menjadi pemberani, hanya saja aku mencoba untuk terlihat berani. Apa aku pengecut?”
“Meski sebenarnya kau takut?” aku mengabaikan pertanyaanmu. Memilih untuk menyarakan pertanyaan yang sedari tadi mendesak di kepalaku.
“Ya, aku takut. Setengah mati aku takut. Demi dirinya, aku menghianati diriku sendiri.” Kau menunduk, memilin ujung kaosmu dengan jari gemetar. Aku tahu, kau pasti membenci hal ini, tapi meski begitu kau tetap melakukannya.
“Jangan paksakan dirimu jika itu—“
“Tidak. Aku kan tetap melakukannya, kau tahu aku baik-baik saja ‘kan?” kau mengangkat wajah, tersenyum kepadaku. Senyum penuh yang kau perlihatkan, namun sayang senyum itu tak mampu menyentuh mata sayu yang selalu menenangkan itu. Aku tahu, kau memaksa dirimu agar terlihat baik-baik saja di depanku.
“Haru..”
panggilku saat kau memutuskan untuk berbalik badan hendak meningggalkanku. Kau berhenti, menoleh padaku—lagi-lagi—dengan senyuman yang tak menyentuh mata.
Aku mendekat padamu, berdiri tepat di depanmu sejenak lalu memberanikan diri untuk memelukmu. Setidaknya aku mencoba untuk memberi dukungan padamu, berharap kau baik-baik saja walau itu terdengar nyaris tak mungkin.
Haru.. bagaimana bisa kau bahagia—walau aku tetap mengharapkan itu akan terjadi padamu—tapi menikah dengan lelaki tua seperti itu..
“Andai aku bisa menghentikan ini untukmu, Haru,” bisikku mengusap rambut kusamnya. Kau menggeleng, menandakan kau tak ingin bantuan apa pun dariku, dan itu membuatku semakin sedih mengembalikanku pada kenyataan di mana aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untukmu. Gadis yang sangat kukasihi.
“Kau hanya perlu mendoakanku. Jangan lakukan apa pun selain itu, kau mengerti kan?” kau melepaskan pelukanku, menatapku dengan tatapan tulus yang selalu membuat jantungku bergetar.
Haru.. andai aku bukanlah pria miskin, kau mungkin tak akan seperti ini. aku mungkin akan bisa membantumu keluar dari neraka ini, dan membawamu ke istana yang akan mengeluarkan kecantikan tersembunyi dengan senyum bahagia di wajahmu. Kau tidak perlu merelakan dirimu dibeli oleh para pedofil itu untuk membantu kehidupanmu, kau juga tak perlu terjebak di tempat ini, tempat yang mengantarmu ke neraka yang lain.
“Jangan lakukan, jangan korbankan hidupmu semakin jauh Haru. Kita pasti bisa keluar dari tempat ini,” ucapku akhirnya. Semakin memikirkan kau pergi, hatiku semakin tak bisa merelakanmu.
“Jika kita bisa, kita pasti telah lama keluar dari tempat ini, tapi kau tahu sendiri ketua sangat jeli memasang keamanan. Kau, aku dan mereka semua...” kau melihat ke arah anak-anak lain yang tertidur di bawah remang lampu neon beralas kardus, “Akan tetap di sini sampai masa yang mengampiri sepertiku ini tiba. kalian hanya perlu menunggu pintu itu terbuka, entah untuk beralih kepada tuan yang baru dan menjadi budak lagi, atau terbuka untuk membawa tubuh tak bernyawamu pergi dari tempat ini. menyatu dengan bumi, atau hilang bersama udara.”
Dan kau akhirnya pergi, menghilang dari pintu besi itu untuk menjadi budak di tempat tuan yang baru. Menjadi istri lelaki tua tak bermoral yang membelimu. Kau meninggalkanku, entah untuk berapa lama, mungkin selamanya? Aku melihat tubuhmu semakin menjauh seakan sinar dari kehidupan lain menyertaimu saat cahaya siang matahari menerpa punggung mungilmu. Haru... haruskah berakhir seperti ini? bahkan aku belum mengatakan, jika aku mencintaimu untuk waktu yang lama.

END.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar