Sesuatu mungkin saja akan terjadi, kalau aku tak segera pulang dan
menyelamatkannya. Ares, dia terlalu rapuh untuk menghadapi apa yang sedang
Tuhan percayakan padanya. Aku percaya, jika Tuhan tak akan memberikan ujian
kepada umatnya melebihi batas kemampuan umat tersebut. Tapi bagaimana jika
sesuatu yang menurut Tuhan itu tidak lah berat, namun ternayat terasa sangat
mencekik bagi manusia tersebut?
Dua bulan lalu, wajahnya tak seperti sekarang. Ada senyum cerah di
sana, kerlingan mata nakal dan manja, candaan serta celotehan menyenangkan
selalu keluar dari bibir mungilnya. Ares adalah pelangi di antara kami semua,
dia lembut sekaligus rapuh. Tapi sekarang semua yang dimilikinya hilang, lenyap
tanpa ada satu pun warna di wajahnya. Pelangi itu memudar, digantikan kemuraman
mendung yang—entah—kapan akan berakhir.
Terkadang aku berpikir, sebagai manusia biasa aku terkadang merasa
Tuhan sangatklah tidak adil kepada kami—manusia
. Dia memberikan harapan,
membiarkan para manusia lugu itu bermimpi setinggi-tingginya, melukiskan apa
pun yang akan di kerjakan nanti untuk kehidupan mereka ke depan, tapi dalam
sekejap mata Dia—Tuhan—menghapus semua itu tanpa perhitungan. Seperti Ares, dia
baru saja menikah dengan kekasih yang sudah 8 tahun menjadi bagian penting hidupnya,
tentu saja ada banyak rencana untuk kehidupan mereka nanti, menikah salah
satunya. Tuhan mengabulkan hal itu.
Tapi, Tuhan tak mengabulkan impian mereka yang lain. Mempunyai anak
berdua, sungguhlah mustahil bagi Ares saat ini, karena Evan telah pergi
meninggalkan mimpi mereka, kebahagiaan mereka untuk selamanya.
“Andai aku bisa memutar waktu, aku pasti tak akan mengijinkannya
bertugas malam itu, kecelakaan itu tidak akan menimpanya. Ini semua salahku
yang tidak bisa menjaganya dengan baik. Evan pergi.. dan aku tak tahu harus
seperti apa nanti. Jadi kumohon, Alex.. biarkan akau mengambil keputusanku
sendiri.. aku ingin bersamanya. Setidaknya itulah yang kupikirkan..” aku
memeluk tubuh ringkihnya. Dia terlalu kurus, berbeda dengan beberapa bulan yang
lalu, dan kenyataan ini menyayatku lebih dalam lagi. Ah, Ares.. sayangku,
kumohon bertahanlah..
“Aku tak akan pernah mengijinkanmu untuk mengambil keputusan yang
salah seperti ini, Ares. Kau harus bertahan, tunjukkan kepada Evan di sana
bahwa kau tetap bisa menjalani hidupmu dengan baik, walau tanpanya. Aku yakin
jika dia melihatmu seperti ini, dia akan kecewa, sedih dan terluka. Pria mana
yang sanggup melihat wanita yang dicintainya terpuruk seperti ini, hm?” ucapku,
berusaha menenangkan. Memberinya dorongan untuk berdiri melanjutkan hidup.
Aku mengelus rambut hitamnya yang kusut, sama sekali tak terawat.
Hidupnya benar-benar berhenti sejak hari itu, kurasa. Aroma pengap tercium di
ruang kamarnya yang sama sekali tak dibiarkan mendapat cahaya matahari atau pun
udara dari luar. Semuanya di tutup, seperti dia menutup hidupnya untuk dunia
yang dia pijak saat ini.
“Tapi...” suaranya terdengar lemah, lebih lemah dari sebelumnya.
Aku merengut merasakan tubuuhnya yang semakin berat bertumpu padaku karena
lemas.
“Alex, kau benar.. dia pasti kecewa melihatku seperti ini. evan
pasti sedih, tapi setidaknya untuk terakhir kalinya.. aku mengikut apa yang
hatiku katakan,” ucapnya dengan napas pendek. Pikiran kotor menyusup masuk ke
dalam otakku. Tidak! Ares tidak akan melakukan hal bodoh, aku yakin!
“Ares!” aku mengguncang tubuhnya yang terasa semakin tak bertenaga,
“Kau kenapa? Ares—“ jantungku berhenti saat itu juga, saat kedua biner mata
hitamku melihat busa lembut menyembul, memaksa keluar dari mulutnya. Perlahan
busa putih itu jatuh meleleh mengenai sebagian wajahnya yang kutengadahkan.
Tidak! Ares, ini pasti lelucon!
“Ares, sadarlah!! Kumohon.. jangan membuatku—“
“Al—ex, maafkan aku ... setidaknya...” napasnya semakin tersengal,
dan kulitnya terasa mulai dingin di kulitku. Tidak!
“Aku—berusaha—untuk—mengejarnya. Maaf..” satu butir air mata jatuh
dari ujung matanya. Perlahan kelopak indah itu menutup, mengalangiku untuk
menatap redup cahaya indah mata coklatnya. Tubuhku bergetar, napasku seakan
tercekik melihat kepergian seorang yang selama ini kucintai dalam diam.
Sahabatku..
Ares..
Tidak mungkin!
Setelah aku merelakannya menikah dengan Evan, kakakku kini haruskah
aku kembali merelakan dia pergi? Untuk selamanya?
Tuhan... rencana apa yang sedang Kau mainkan?
Kau mengambil cintaku, dan memberikannya kepada saudaraku. Lalu Kau
kembali mengambil sesuatu dariku, Kau mengambil satu-satunya saudara yang
kumiliki, dan sekarang... setelah aku berusaha berdiri menerima takdir yang Kau
rencanakan. Lagi-lagi kau mengambil seseorang yang kucintai, saudara yang baru
saja kumiliki.
Takdir seperti apa yang sedang kau gariskan padaku, Tuhan?
Ares... Evan... bagaimana aku bisa menanggung semua ini?
END.
Kudus, 09 Juni 2015.
Dalam sepi, aku menuliskan kata hati..
#NulisRandom2015 nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar