Selasa, 09 Juni 2015

Permainan Takdir



Sesuatu mungkin saja akan terjadi, kalau aku tak segera pulang dan menyelamatkannya. Ares, dia terlalu rapuh untuk menghadapi apa yang sedang Tuhan percayakan padanya. Aku percaya, jika Tuhan tak akan memberikan ujian kepada umatnya melebihi batas kemampuan umat tersebut. Tapi bagaimana jika sesuatu yang menurut Tuhan itu tidak lah berat, namun ternayat terasa sangat mencekik bagi manusia tersebut?
Dua bulan lalu, wajahnya tak seperti sekarang. Ada senyum cerah di sana, kerlingan mata nakal dan manja, candaan serta celotehan menyenangkan selalu keluar dari bibir mungilnya. Ares adalah pelangi di antara kami semua, dia lembut sekaligus rapuh. Tapi sekarang semua yang dimilikinya hilang, lenyap tanpa ada satu pun warna di wajahnya. Pelangi itu memudar, digantikan kemuraman mendung yang—entah—kapan akan berakhir.
Terkadang aku berpikir, sebagai manusia biasa aku terkadang merasa Tuhan sangatklah tidak adil kepada kami—manusia
. Dia memberikan harapan, membiarkan para manusia lugu itu bermimpi setinggi-tingginya, melukiskan apa pun yang akan di kerjakan nanti untuk kehidupan mereka ke depan, tapi dalam sekejap mata Dia—Tuhan—menghapus semua itu tanpa perhitungan. Seperti Ares, dia baru saja menikah dengan kekasih yang sudah 8 tahun menjadi bagian penting hidupnya, tentu saja ada banyak rencana untuk kehidupan mereka nanti, menikah salah satunya. Tuhan mengabulkan hal itu.
Tapi, Tuhan tak mengabulkan impian mereka yang lain. Mempunyai anak berdua, sungguhlah mustahil bagi Ares saat ini, karena Evan telah pergi meninggalkan mimpi mereka, kebahagiaan mereka untuk selamanya.
“Andai aku bisa memutar waktu, aku pasti tak akan mengijinkannya bertugas malam itu, kecelakaan itu tidak akan menimpanya. Ini semua salahku yang tidak bisa menjaganya dengan baik. Evan pergi.. dan aku tak tahu harus seperti apa nanti. Jadi kumohon, Alex.. biarkan akau mengambil keputusanku sendiri.. aku ingin bersamanya. Setidaknya itulah yang kupikirkan..” aku memeluk tubuh ringkihnya. Dia terlalu kurus, berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, dan kenyataan ini menyayatku lebih dalam lagi. Ah, Ares.. sayangku, kumohon bertahanlah..
“Aku tak akan pernah mengijinkanmu untuk mengambil keputusan yang salah seperti ini, Ares. Kau harus bertahan, tunjukkan kepada Evan di sana bahwa kau tetap bisa menjalani hidupmu dengan baik, walau tanpanya. Aku yakin jika dia melihatmu seperti ini, dia akan kecewa, sedih dan terluka. Pria mana yang sanggup melihat wanita yang dicintainya terpuruk seperti ini, hm?” ucapku, berusaha menenangkan. Memberinya dorongan untuk berdiri melanjutkan hidup.
Aku mengelus rambut hitamnya yang kusut, sama sekali tak terawat. Hidupnya benar-benar berhenti sejak hari itu, kurasa. Aroma pengap tercium di ruang kamarnya yang sama sekali tak dibiarkan mendapat cahaya matahari atau pun udara dari luar. Semuanya di tutup, seperti dia menutup hidupnya untuk dunia yang dia pijak saat ini.
“Tapi...” suaranya terdengar lemah, lebih lemah dari sebelumnya. Aku merengut merasakan tubuuhnya yang semakin berat bertumpu padaku karena lemas.
“Alex, kau benar.. dia pasti kecewa melihatku seperti ini. evan pasti sedih, tapi setidaknya untuk terakhir kalinya.. aku mengikut apa yang hatiku katakan,” ucapnya dengan napas pendek. Pikiran kotor menyusup masuk ke dalam otakku. Tidak! Ares tidak akan melakukan hal bodoh, aku yakin!
“Ares!” aku mengguncang tubuhnya yang terasa semakin tak bertenaga, “Kau kenapa? Ares—“ jantungku berhenti saat itu juga, saat kedua biner mata hitamku melihat busa lembut menyembul, memaksa keluar dari mulutnya. Perlahan busa putih itu jatuh meleleh mengenai sebagian wajahnya yang kutengadahkan.
Tidak! Ares, ini pasti lelucon!
“Ares, sadarlah!! Kumohon.. jangan membuatku—“
“Al—ex, maafkan aku ... setidaknya...” napasnya semakin tersengal, dan kulitnya terasa mulai dingin di kulitku. Tidak!
“Aku—berusaha—untuk—mengejarnya. Maaf..” satu butir air mata jatuh dari ujung matanya. Perlahan kelopak indah itu menutup, mengalangiku untuk menatap redup cahaya indah mata coklatnya. Tubuhku bergetar, napasku seakan tercekik melihat kepergian seorang yang selama ini kucintai dalam diam. Sahabatku..
Ares..
Tidak mungkin!
Setelah aku merelakannya menikah dengan Evan, kakakku kini haruskah aku kembali merelakan dia pergi? Untuk selamanya?
Tuhan... rencana apa yang sedang Kau mainkan?
Kau mengambil cintaku, dan memberikannya kepada saudaraku. Lalu Kau kembali mengambil sesuatu dariku, Kau mengambil satu-satunya saudara yang kumiliki, dan sekarang... setelah aku berusaha berdiri menerima takdir yang Kau rencanakan. Lagi-lagi kau mengambil seseorang yang kucintai, saudara yang baru saja kumiliki.
Takdir seperti apa yang sedang kau gariskan padaku, Tuhan?
Ares... Evan... bagaimana aku bisa menanggung semua ini?

END.

Kudus, 09 Juni 2015.
Dalam sepi, aku menuliskan kata hati..

#NulisRandom2015 nulisbuku.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar