Senin, 02 Mei 2016

Pertunjukan Seorang Kekasih



Tangannya gemetar. Lemas tak memiliki kekuatan untuk memegang apa pun. Kertas bewarna perak dengan hiasan sakral nama sepasang calon pengantin itu jatuh tak berdaya di bawah kaki jenjangnya. Tertulis jelas tanggal pernikahannya di sana 02 Mei 2016, menggunakan tinta emas yang mewah. Hari ini, dia akan menikah! Suara sinis dalam kepalanya terngiang bagai gaungan mengerikan dari dalam gua. Jihan, mengepalkan kedua tangannya erat di samping tubuhnya. Baru saja dia kembali dari perjalanan bisnis, baru saja dia menutup pintu kamarnya dan membayangkan akan mendapatkan panggilan telpon dari seseorang yang teramat dia rindukan, kemudian merencanakan pertemuan manis yang diyakini mampu mengobati siksa rindu yang hampir tiga minggu ditahannya. Tapi apa? Dunia seakan mengejek kerinduannya dengan undangan pernikahan yang dia temukan di nakas samping tempat tidurnya.
“Menikah?” gumam Jihan, seakan dia masih tidak percaya dengan pukulan takdir yang diterimanya. “Menyedihkan sekali, kamu Jihan..” senyum sinis terbit di wajah mendungnya. Tidak ada airmata mengalir. Yang ada hanya senyum sinis serta tatapan mencemooh di sana. Dia merunduk sejenak, seolah mengumpulkan sisa kekuatan dalam dirinya guna merencanakan hal selanjutnya yang akan dia lakukan. kemudian dengan wajah kaku dia berjalan menuju lemari pakaian. Bersiap menghadiri acara pernikahan.
Di atas perintah Tuhan, hidup selalu menawarkan keindahan tanpa batas ketika dia ingin. Lalu menariknya ketika dia mau. Memberikan bayangan manis penuh gairah yang tak tertandingi kenikmatannya. Namun, hidup selalu memiliki caranya sendiri untuk menyentil balon berisi mimpi manis itu. Entah itu pelan atau secara kasar hingga memecahkan semuanya sampai hilang. Disaat seperti itulah, jiwa memerlukaan sebuah perlindungan. Sebuah tabir untuk kelangsungan nasib raganya.
Seperti apa yang dilakukan oleh Jihan di depan cermin riasnya, dia tidak ingin tampil menyedihkan di depan Si pengantin nanti. Meski napasnya terasa sangat berat, dadanya teramat sesak akibat bayang-bayang kenangan yang terus muncul tanpa henti di kepalanya, dia tetap berusaha fokus pada riasnya. Dengan hati-hati, Jihan melukiskan eye-liner, berharap sebuah kekuatan magis memancar dari ketajaman jelaga matanya.
“Ini adalah pertempuran terakhir, Jihan. Lakukanlah, lalu buanglah dia setelah hari ini.” ucap Jihan pada dirinya setelah melakukan polesan terakhir pada wajahnya. Cantik, tampak tegas dan kuat. Jihan memilih karakter make up yang pas untuk apa yang akan dihadapinya hari ini, bila biasanya dia selalu memilih make up natural dengan kesan soft, maka hari ini tidak berlaku.
***
Jihan tiba di gedung pernikahan, kakinya berhenti tepat di depan pintu ruangan. Tiba-tiba saja hatinya gentar, dia kembali merasa bergetar, bahkan kini matanya mulai memanas akibat desakan airmata yang meminta keluar. Tapi tidak, hal ini tidak boleh diteruskan. Pertarungan ini baru saja akan dimulai, dirinya tidak boleh menyerah di pintu gerbang arena perang. Perang melawan dirinya sendiri, menguji kekuatan yang tersembunyi di dalam palung hatinya. Merasa yakin, Jihan menarik narik napas dalam, kemudian menggerakkan kakinya untuk melangkah ke dalam ruang resepsi. Tangan kirinya mencengkeram handbag yang dibawanya dengan kuat, bahkan bisa dirasakan bila telapak tangannya kini berkeringat dingin, juga napasnya terasa memburu dan semakin sesak ketika kedua matanya mulai mengenali wajah dua insan yang sedang berdiri bahagia di atas singgasana seharinya.
“Kukira aku tidak akan melihatmu di sini, Jihan.” Suara berat itu mengejutkan Jihan. Dia menoleh, dan mendapati wajah familiar yang sudah sangat lama tidak dijumpainya. Dua alis Jihan bertaut, merasa heran, tak percaya dengan siapa yang dilihatnya.
“Jangan keluaran airmatamu pada orang yang salah. Kamu tentu tidak melupakanku kan?” senyum hangat itu membuat kedua mata Jihan berkedip cepat. Bayu. Akhirnya dia berhasil mengingat pemilik senyum hangat di depannya itu.
“Tentu saja. Aku tidak akan lupa pada seseorang yang juga kehilangan kekasihnya di sini.” Ucap Jihan, dia membalas senyum Bayu. Lalu keduanya sama-sama memandang ke arah pengantin baru di sana.
Danu, seseorang yang selalu menjadi orang pertama bagi kehidupan Jihan selama lima tahun. Sedangkan Dinda, seseorang yang hampir seperempat hidupnya dihabiskan untuk berada di sisi Bayu. Mereka—dulu—saling mencintai, mengumbar janji, menebar senyum serta kecupan manis di setiap kesempatan. Tapi kini, tak sama lagi dengan dulu. Dua dari empat manusia itu memilih berganti kapal dan meninggalkan nahkodanya. Kemudian bersatu di kapal yang sama. Dua lainnya, mau tak mau harus bertahan melindungi kapal seorang diri, berjuang hingga bertemu dengan pengganti. Menunggu hidup, memberi cerita manis lainnya.
“Apa yang terjadi sampai kamu kehilangan Dinda?” Jihan melirik Bayu yang berdiri gagah di sampingnya, namun mata cokelat pemuda berhidung bangir itu tetap fokus pada kedua pengantin di depan mereka.
Mengedikkan bahu, Bayu menjawab, “Aku tidak kehilangan dia, hanya saja dia yang memilih menghilangkanku. Dari hidupnya.”
“Lalu, bagaimana denganmu?” kini giliran Bayu yang melirik Jihan di sampingnya, gadis itu tersenyum membalas mata Bayu sebelum beralih ke Danu di sana.
“Entahlah. Mungkin, sejak dulu aku memang sudah kehilangan dirinya, tapi aku terlalu buta untuk menyadari kepergiannya.”
Dulu, mereka bersama. Tapi kini mereka memiliki garis pemisah. Meski jarak pandang cukup dekat, tetap saja rasanya mereka berada di jarak bermil-mil jauhnya. Mungkin inilah namanya tabir kehidupan.

END.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar