Tangannya gemetar. Lemas tak memiliki kekuatan untuk memegang apa
pun. Kertas bewarna perak dengan hiasan sakral nama sepasang calon pengantin
itu jatuh tak berdaya di bawah kaki jenjangnya. Tertulis jelas tanggal
pernikahannya di sana 02 Mei 2016, menggunakan tinta emas yang mewah. Hari
ini, dia akan menikah! Suara sinis dalam kepalanya terngiang bagai gaungan
mengerikan dari dalam gua. Jihan, mengepalkan kedua tangannya erat di samping
tubuhnya. Baru saja dia kembali dari perjalanan bisnis, baru saja dia menutup
pintu kamarnya dan membayangkan akan mendapatkan panggilan telpon dari
seseorang yang teramat dia rindukan, kemudian merencanakan pertemuan manis yang
diyakini mampu mengobati siksa rindu yang hampir tiga minggu ditahannya. Tapi
apa? Dunia seakan mengejek kerinduannya dengan undangan pernikahan yang dia
temukan di nakas samping tempat tidurnya.
“Menikah?” gumam Jihan, seakan dia masih tidak percaya dengan
pukulan takdir yang diterimanya. “Menyedihkan sekali, kamu Jihan..” senyum
sinis terbit di wajah mendungnya. Tidak ada airmata mengalir. Yang ada hanya
senyum sinis serta tatapan mencemooh di sana. Dia merunduk sejenak, seolah
mengumpulkan sisa kekuatan dalam dirinya guna merencanakan hal selanjutnya yang
akan dia lakukan. kemudian dengan wajah kaku dia berjalan menuju lemari
pakaian. Bersiap menghadiri acara pernikahan.
Di atas perintah Tuhan, hidup selalu menawarkan keindahan tanpa
batas ketika dia ingin. Lalu menariknya ketika dia mau. Memberikan bayangan
manis penuh gairah yang tak tertandingi kenikmatannya. Namun, hidup selalu
memiliki caranya sendiri untuk menyentil balon berisi mimpi manis itu. Entah
itu pelan atau secara kasar hingga memecahkan semuanya sampai hilang. Disaat
seperti itulah, jiwa memerlukaan sebuah perlindungan. Sebuah tabir untuk
kelangsungan nasib raganya.
Seperti apa yang dilakukan oleh Jihan di depan cermin riasnya, dia
tidak ingin tampil menyedihkan di depan Si pengantin nanti. Meski napasnya
terasa sangat berat, dadanya teramat sesak akibat bayang-bayang kenangan yang
terus muncul tanpa henti di kepalanya, dia tetap berusaha fokus pada riasnya.
Dengan hati-hati, Jihan melukiskan eye-liner, berharap sebuah kekuatan magis
memancar dari ketajaman jelaga matanya.
“Ini adalah pertempuran terakhir, Jihan. Lakukanlah, lalu buanglah
dia setelah hari ini.” ucap Jihan pada dirinya setelah melakukan polesan
terakhir pada wajahnya. Cantik, tampak tegas dan kuat. Jihan memilih karakter
make up yang pas untuk apa yang akan dihadapinya hari ini, bila biasanya dia
selalu memilih make up natural dengan kesan soft, maka hari ini
tidak berlaku.
***
Jihan tiba di gedung pernikahan, kakinya berhenti tepat di depan
pintu ruangan. Tiba-tiba saja hatinya gentar, dia kembali merasa bergetar,
bahkan kini matanya mulai memanas akibat desakan airmata yang meminta keluar.
Tapi tidak, hal ini tidak boleh diteruskan. Pertarungan ini baru saja akan
dimulai, dirinya tidak boleh menyerah di pintu gerbang arena perang. Perang
melawan dirinya sendiri, menguji kekuatan yang tersembunyi di dalam palung
hatinya. Merasa yakin, Jihan menarik narik napas dalam, kemudian menggerakkan
kakinya untuk melangkah ke dalam ruang resepsi. Tangan kirinya mencengkeram
handbag yang dibawanya dengan kuat, bahkan bisa dirasakan bila telapak
tangannya kini berkeringat dingin, juga napasnya terasa memburu dan semakin
sesak ketika kedua matanya mulai mengenali wajah dua insan yang sedang berdiri
bahagia di atas singgasana seharinya.
“Kukira aku tidak akan melihatmu di sini, Jihan.” Suara berat itu
mengejutkan Jihan. Dia menoleh, dan mendapati wajah familiar yang sudah sangat
lama tidak dijumpainya. Dua alis Jihan bertaut, merasa heran, tak percaya
dengan siapa yang dilihatnya.
“Jangan keluaran airmatamu pada orang yang salah. Kamu tentu tidak
melupakanku kan?” senyum hangat itu membuat kedua mata Jihan berkedip cepat.
Bayu. Akhirnya dia berhasil mengingat pemilik senyum hangat di depannya itu.
“Tentu saja. Aku tidak akan lupa pada seseorang yang juga
kehilangan kekasihnya di sini.” Ucap Jihan, dia membalas senyum Bayu. Lalu
keduanya sama-sama memandang ke arah pengantin baru di sana.
Danu, seseorang yang selalu menjadi orang pertama bagi kehidupan
Jihan selama lima tahun. Sedangkan Dinda, seseorang yang hampir seperempat hidupnya
dihabiskan untuk berada di sisi Bayu. Mereka—dulu—saling mencintai, mengumbar
janji, menebar senyum serta kecupan manis di setiap kesempatan. Tapi kini, tak
sama lagi dengan dulu. Dua dari empat manusia itu memilih berganti kapal dan
meninggalkan nahkodanya. Kemudian bersatu di kapal yang sama. Dua lainnya, mau
tak mau harus bertahan melindungi kapal seorang diri, berjuang hingga bertemu
dengan pengganti. Menunggu hidup, memberi cerita manis lainnya.
“Apa yang terjadi sampai kamu kehilangan Dinda?” Jihan melirik Bayu
yang berdiri gagah di sampingnya, namun mata cokelat pemuda berhidung bangir
itu tetap fokus pada kedua pengantin di depan mereka.
Mengedikkan bahu, Bayu menjawab, “Aku tidak kehilangan dia, hanya
saja dia yang memilih menghilangkanku. Dari hidupnya.”
“Lalu, bagaimana denganmu?” kini giliran Bayu yang melirik Jihan di
sampingnya, gadis itu tersenyum membalas mata Bayu sebelum beralih ke Danu di sana.
“Entahlah. Mungkin, sejak dulu aku memang sudah kehilangan dirinya,
tapi aku terlalu buta untuk menyadari kepergiannya.”
Dulu, mereka bersama. Tapi kini mereka memiliki garis pemisah.
Meski jarak pandang cukup dekat, tetap saja rasanya mereka berada di jarak
bermil-mil jauhnya. Mungkin inilah namanya tabir kehidupan.
END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar