You; My Secret Love
“Mengapa ada cinta, jika sakit selalu saja menyertainya?”
“Apa maksudmu?” kau mengerutkan kedua alismu, menoleh penuh ke
arahku. Aku tersenyum, “Kau tahu Keenan? Cinta itu terlalu rumit untuk
dimengerti. Terlalu manja untuk dipahami.” Dari ekor mataku, kau tampak semakin
menyipitkan matamu karena bingung dengan kalimatku, kurasa.
“Dan yang aku tahu, Fay, kau lebih rumit, sekaligus membingungkan
daripada cinta yang kau bicarakan. Sungguh aku tidak mengerti, kau ini kenapa?”
bicaramu terdengar lucu, nada kesalmu membuatku selalu ingin mengulum senyum. Bukan berarti aku ingin membuatmu merasa kesal terus, bukan. Hanya saja kau menjadi lebih seperti anak kecil jika sedang menunjukkan kekesalanmu, seperti tadi.
bicaramu terdengar lucu, nada kesalmu membuatku selalu ingin mengulum senyum. Bukan berarti aku ingin membuatmu merasa kesal terus, bukan. Hanya saja kau menjadi lebih seperti anak kecil jika sedang menunjukkan kekesalanmu, seperti tadi.
“Hah! Lihat, kau tersenyum, heh?”
“Kee... kau tahu, kau tampak seperti—“
“Seperti anak kecil jika aku sedang kesal seperti ini, begitu kan
yang ingin kau katakan?” jantungku, kurasa sempat berhenti berdetak selama
mendengarmu melanjutkan kalimat yang ingin kukatakan, juga beberapa detik
setelah kau selesai bicara.
Apa kau bisa mendengar suara hatiku? Maksudku, apa kau bisa membaca
pikiranmu, bagaimana..
“Hey, kau bingung bagaiamana aku bisa tahu?” lagi, kau membuat
jantungku berhenti memompa darah. Sial, Keenan!
Aku mengangguk, pelan. Ragu dan takut, kalau-kalau ternyata kau
benar bisa membaca pikiranku maka itu artinya kau..
Menghela napas, kau tampak memutar mata ke arahku dengan tatapan
kesal. Gemas. “Fay... setiap hari, kau selalu mengatakan hal itu kepadaku tiap
kali aku merasa kesal. Oh ya ampun, apa sakit membuat otakmu menjadi agak aneh?
Gara-gara obat?” aku menahan senyum, melihat matamu yang mengerling jahil
padaku. Ah, leganya. Rahasiaku, tetap aman.
“Hmm, sepertinya begitu,” jawabku.
Hening. Kau terlihat sibuk dengan ponselmu, dan sepertinya kau juga
tak mendengar jawaban singkatku tadi—lebih tepatnya—tak menghiraukan jawaban
tak penting tersebut. Entah karena hening atau apa, aku merasa bau obat-obatan
tercium semakin dalam saat ini, beda dengan saat tadi kau dan aku asik bicara.
Apa ini karena panca inderaku tak memiliki pekerjaan lain, setelah kau sibuk
dengan benda kecil di tanganmu itu? Bahkan suara ketukan langkah kaki para
perawat mau pun dokter terdengar jelas seperti gerakan tap dance.
“Bagaimana kabarmu, Kee?” tanyaku akhirnya, memeberanikan diri
memecah keheningan menyebalkan yang mengganggu.
Kau mengangkat wajahmu seketika dari layar ponsel. Tersenyum manis,
seakan meminta maaf karena mengabaikanku, lalu kau meletakkan ponsel warna
hitam itu di atas meja kecil di sampingku, “Aku baik. Sangat baik. Kau juga
harus baik-baik saja Fay..” aku mengangguk mendengarmu.
“Aku selalu berusaha baik-baik saja, kau tahu itu. Lalu.. bagaimana
dengan...” tenggorokanku terasa kering, sulit sekali mengucapkan nama itu,
meski sudah ribuan kali aku mencobanya dan membiasakannya.
“Adel?” tebakmu, aku pun mengangguk berusaha menampilkan senyum
biasa padamu.
“Ah, kau tahu dia sangat merepotkan! Membuatku pusing dengan ini
dan itu, terkadang dia manja hingga membuatku gemas, tapi terkadang dia menjadi
galak membuatku kewalahan untuk memahaminya. Dia sehat, dan tentu saja dia
baik-baik saja, begitu juga dengan bayi kami.”
Bayi kami? Mataku terasa perih seakan terbakar mendengar kalimat
panjangmu, juga dua kata terakhirmu. Bayi kami. Keenan, kau tahu jantungku terasa
melemah, hatiku perih mendengar hal itu, namun aku juga bahagia untukmu karena
kau terlihat sangat bahagia dengan kehidupanmu saat ini. hal itu tampak jelas
terpancar dari kedua mata hitammu yang indah.
“Kau terlihat sangat bahagia, aku senang melihatnya,” ucapku tulus.
Kau tersenyum, menekuk wajah karena malu. Dasar, kau. Aku pun tersenyum sendiri
melihat tingkahmu.
“Kau tahu Fay, setiap hari aku selalu berpikir tentangmu. Aku
sedih, aku terluka melihat kau sakit. Sahabat terbaikku, yang selalu ceria dan
membuatku tersenyum bahagia kini terjebak di ruangan yang—aku tahu sangat
dibencinya.”
Keenan...
Aku tersenyum. Memaksa tersenyum dan menahan laju airmataku yang
ingin menerobos keluar dari pertahananku, kuberanikan diri menyentuh tanganmu.
Hangat. Selalu seperti itu setiap kali aku menggenggam tanganmu. Sudah berapa
lama aku tak menggenggam tangan ini?
“Aku baik-baik saja, Kee. Jangan khawatir, aku tetap sahabatmu yang
ceria..” kau mengangguk, dan dapat kulihat genangan bening bersarang dikedua
matamu. Kumohon jangan menangis.
“Hey.. apa itu?” tunjukku ke arah matamu, kau menyadari apa
maksudku dan segera memejamkan mata, menyekanya sambil terkekeh.
“Cepatlah sembuh. Aku ingin kau main ke rumahku, mengobrol denganku
dan Adel, memasak bersamanya di dapur kami. Fay..., kau bahkan tak pernah
menemuiku setelah acara pernikahanku saat itu. Kau menghilang, kau bersembunyi.
Kupikir kau marah karena aku mendahuluimu, tapi ternyata kau terjebak di sini.”
Aku menunduk, merasa benar-benar tak sanggup untuk lebih lama
menahan sesak dan juga desakan airmata yang sejak tadi menggedor untuk keluar.
Aku runtuh. Jika kau berpikir aku marah, maka itu benar. Aku marah Keenan,
sangat marah! Terhadap diriku yang telah lancang mencintaimu melebihi sahabat.
Aku marah, karena aku mengharapkanmu menjadi milikku. Aku serakah karena
menginginkanmu, Keenan. Mungkin karena ini lah Tuhan menghukumku, dan aku
mensyukuri semua ini karena ini terjadi kepadaku, bukan kepadamu.
Tak bisa kubayangkan jika penyakit ini memilihmu, aku akan sangat
terluka melihatmu menahan sakit dan menderita. Bahkan Adel pun mungkin akan
sangat hancur jika kau lah yang mengalami sakit ini. untuk itulah aku besyukur
bukan kau, tapi aku.
“Maafkan aku karena tak menyadari penderitaanmu, Fay. Kau sakit,
tapi aku malah memaksamu menemaniku dan Adel mengurus pernikahan. Seharusnya
kau bilang kalau kau—“
“Kalau aku sakit? Kau ingin aku bilang ‘Keenan, maaf aku tak bisa
ikut serta mengurus persiapan pernikahanmu karena aku sakit. Jantungku
mengalami kebocoran, dan aku tak boleh terlalu lelah karena itu akan
membunuhku.’ Kau ingin aku mengatakan itu?” kau menunduk, lalu kembali
menatapku dengan tatapan terluka. Dapat kulihat dengan jelas, jika perlahan
cairan bening itu meluncur dari matamu dan membentuk sebuah anak sungai di
wajah tegasmu. Jangan menangis..
“Fay, aku..”
“Kau kira apa yang akan kau lakukan jika aku mengatakannya padamu?
Aku tahu, kau akan menghentikan pernikahanmu, kau akan mengundurnya lalu
bertindak seolah kau pahlawan yang siap ada membantuku. Dan itu akan melukai
Adel, juga mimpi kalian. Aku tidak ingin itu terjadi, lagipula aku masih kuat
dan—“
“Sssttt... maafkan aku. Maafkan aku, Fay. Aku sayang padamu..” kau
memelukku, memberiku ketenangan yang luar biasa, bahkan jantungku yang lemah
terasa sedikit memiliki alasan untuk bertahan.
Keenan aku mencintaimu. Kalimat itu selalu berhenti diujung lidah,
dan hatiku berteriak sakit setiap kali aku menahannya.
“Aku juga sangat menyayangimu. Jangan sedih, aku baik-baik saja,
Kee..”
“Aku tahu, kau baik-baik saja, di depanku. tapi aku juga tahu kau
terpuruk, kau takut, kau sedih. Bukankah kita sahabat? Kenapa kau
menyembunyikannya dariku? Aku marah karena kau—“
“Maaf. Aku tahu kau pasti akan secerewet ini, makanya aku tak
memberitahumu, dan menghilang.” Kau terkekeh dalam tangismu, menepuk punggungku
pelan sebagai balasan ucapan candaku. Aku tersenyum menikmati.
“Betapa hebatnya diriku, telah berhasil membuat seorang idola
kampus sepertimu menangis seperti sekarang,” ucapku.
“Hmm.. kau beruntung melihatku menangis, karena airmataku sangat
mahal.”
“Itu karena aku special, makanya aku beruntung.” Kau melepas
pelukanmu, membuatku sedikit kecewa karena jarak sejengkal kembali memisahkan
kedekatan tubuh kita. Dengan lembut kau mengusap airmataku.
“Berjanjilah padaku, kau akan sembuh. Aku ingin kau melihat anak
kami lahir, lalu menggendongnya. Akan kuberikan kau hak akses spesial kepada
anakku nanti untuk menjadi orang pertama yang menggendongnya. Aku ingin kau
melihatnya, aku sangat ingin memperkenalan kalian. Jadi berjanjilah kau akan
sembuh, Fay..”
“Kau membuatku menangis.”
“Fay.. berjanjilah.” Aku tersenyum, menggeleng pelan padamu.
“Keenan, kau tahu bukan? Aku tak ingin membuat janji yang aku
sendiri tak tahu bisa menepatinya atau tidak. Selama aku bisa memiliki peluang
untuk menepatinya, aku pasti berjanji. Tapi untuk hal ini.. aku tidak tahu,”
airmataku tak bisa membohongi betapa hancurnya aku dengan kenyataan ini.
rasanya aku ingin mewujudkan keinginan Keenan, tapi tubuhku... aku tahu aku tak
mampu bertahan lebih lama.
“Maafkan aku—“
“Kau tidak boleh berpikir hal yang belum tentu terjadi. Tidak
boleh, Fay. Aku yakin kau pasti sembuh, jadi kau pun juga harus yakin jika kau
akan sembuh dan kembali seperti dulu. Kau bahkan belum menyatakan cinta pada
pemuda yang diam-diam kau suka itu, iya kan? Kau juga belum mengenalkannya
padaku!”
Mengenalkannya padamu? Bagaiaman caranya aku menegnalkannya padamu,
jika seseorang kucintai itu kau, Keenan? Sahabatku. Pemberi semangat hidupku.
Aku tersenyum, pedih melihatmu. Sorot matamu menyiratkan luka, aku tahu kau
sedih melihatku seperti ini, tapi aku lebih sedih melihatmu terluka seperti
ini.
Kau meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat lalu kau mengangkat
wajah memandangku dengan tatapan yang jauh berbeda dari yang kau perlihatkan
beberapa detik lalu. Ada ketegaran di sana, seakan kau ingin menyalurkan
keoptimisanmu untukku yang tampak putus asa.
“Apa pun yang terjadi, aku yakin kau pasti bisa melewatinya dengan
baik. Kau pasti sembuh, aku yakin itu.” Senyummu merekah, aku mengangguk
meremas tanganmu,. Rasanya aku tak ingin melepas tangan hangat ini, selamanya.
“Kau pulanglah,” perintahku.
kau menggigit bibir bawahmu, tanda jika sebenarnya kau berat untuk
meninggalkanku sendirian di sini, aku tahu karena kau selalu seperti itu selama
ini. setiap kali kau merasa harus berada di sisiku, tapi keadaan tak
mengijinkan kau pasti bersikap seperti saat ini, menggigit bibir, dan menatapku
dengan tatapan yang seolah berkata, “Maafkan aku, sesungguhnya aku tak ingin
pergi. Tapi aku harus.. pergi.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan mati setelah kau keluar nanti.”
“Kau ini bicara apa?!” lihatlah, matamu melebar. Ketakutan dan
amarah terlihat jelas di matamu. Keenan, sebenarnya apa artinya diriku untukmu?
Kenapa kau selalu mengistimewakan aku sehingga terkadang aku merasa kau
mencintaiku seperti kau mencintai seorang perempuan. Membuatku akhirnya
terjatuh ke dalam pemikiranku sendiri dan tak bisa keluar.
“Sudahlah, aku hanya bercanda, oke?”
“Tapi tetap saja, bercandamu itu..”
“Jadi kau sedang memarahi seorang pasien, sekarang? Kau tidak takut
akan diusir dari ruangan ini dan tidak diperbolehkan menjenguk lagi, nantinya?”
mataku mengerling jahil padamu, dan kau pura-pura memasang wajah cemberut tapi
menahan senyum lucu yang membuatku semakin gemas melihatnya.
“Aku tahu kau tidak akan pernah melakukannya, karena kau tak bisa
menolakku. Fay, terlalu menyayangi Keenan. Benar begitu?” senyum mengembang
sempurna di wajah tampanmu, lalu kau memberikan garakan yang sudah sangat lama
kurindukan. Mengacak rambutku.
“Aku merindukan ini,” gumamku pelan, berharap kau tak mendengarnya.
Tapi kupikir kau berhasil mendengarnya, karena kau kembali diam, dan sisa
senyum di wajahmu perlahan memudar digantikan senyum paksa yang terlihat pahit.
Tatapan matamu pun kembali sendu. Entah apa yang kau pikirkan, sehingga raut
wajahmu berubah seperti itu.
“Pulanglah...” kataku.
Mengangguk kecil, perlahan kau berdiri, tapi tidak melepaskan
genggaman tanganmu. “Aku pulang.. kau harus baik-baik saja di sini,” aku
mengangguk “Jika kau bosan kau bisa menelponku, skype, atau kau bisa membaca
novel yang kubawakan hari ini.” kau semakin erat menggenggam tanganku, dengan
berat hati aku berusaha melepasnya, mengangguk dengan isyarat untuk segera
menyuruhnya pergi.
“Aku sayang padamu.” Jantungku kembali berhenti berdetak, saat
kurasakan bibir basahmu menempel sempurna di dahiku. Dan tanpa bisa kutahan,
airmata kembali mengalir deras dari mataku. Jika bisa, Ya Tuhan.. aku ingin
waktu berhenti sekarang juga. Kedua mataku memejam, berusaha merekam rasa
kecupanmu, mengingat kehangatan dan kelembutan yang kau berikan. Tiga detik.
Tiga detik dalam hidupku yang tak akan pernah kulupakan.
“Aku pergi,” pamitmu melepaskan ujung jariku.
Aku mengangguk, menatapmu yang berbalik perlahan. Berjalan pelan ke
arah pintu ruangan. Entah mengapa rasa ini terasa sangat berat, lebih berat dan
sakit saat melihatmu memasangkan cincin ke jari Adel.
“Keenan..” panggilku, serak. Airmata tak mampu kuhentikan lajunya,
aku tak memiliki daya untuk melakukannya.
Kau berhenti, meoleh dengan sangat cepat ke arahku. Hatiku
mencelos, saat melihat airmata dengan derasnya membasahi wajahmu. Bahumu
bergetar, tapi kau tetap memaksakan senyum untukku.
“Hmm..”
“Jangan lupakan aku. Ingatlah aku seperti kau yang selalu mengingat
sunrise pertama yang pernah kita lewati.” Kau mengangguk, isakan tertahan
terdengar memilukan di telingaku. Merobek pertahananku, membuatku ingin
meluncurkan kalimat yang selama ini hanya dapat kutahan di ujung lidah.
“Aku juga sayang padamu.” Dan aku mencintaimu, lanjutku dalam hati.
Kau mengangguk lemah, kemudian berbalik pergi. Kali ini kau
benar-benar pergi, menghilang setelah pintu berwarna coklat itu tertutup.
Aku tak tahu, apa aku bisa bertahan lebih lama atau tidak. Hanya
saja firasatku mengatakan, jika ini adalah perpisahan kita yang sebenarnya.
***
Keenan membuka lipatan kertas yang baru saja diberikan Adel
untuknya. Wajah tampannya terlihat mendung menyimpan duka yang sangat mendalam,
bahkan kedua matanya masih tampak basah airmata. Dengan tangan bergetar dia
membukanya, mengambil napas dalam untuk mempersiapkan dirinya.
Airmata Keenan kembali merebak, setelah melihat tulisan tangan yang
sangat dikenalinya.
“Fay..”
Keenan...
Jika kau membaca ini, kuminta kau tersenyum tampan seperti
biasanya. Jangan lagi menangis karena itu sangat melukaiku. Kau tahu, kau
adalah sahabat terbaikku, seseorang sangat penting bagiku. Aku tidak menyangka
jika kini, kau sudah menikah, mendahuluiku. Jahat sekali! Tapi tentu saja aku
bahagia, sangat bahagia untukmu dan Adel.
Maafkan aku, karena tak bisa mengenalkanmu dengan seseorang yang
kucintai selama ini, lagi pula kami tak lagi bisa bersama. Juga, maaf karena
tak bisa memenuh janjimu untuk sembuh, kau tahu sudah berusaha sebaik yang
kubisa untuk bertahan karena aku ingin bersamamu, dan menggendong anakmu,
memasak bersama istrimu. Aku sangat ingin melakukannya, tapi sayang Tuhan
terlalu sayang padaku sehingga tidak membiarkanku melakukan hal-hal yang kau
rencanakan.
Keenan, selamanya aku selalu mengingatmu. Kau adalah hal terindah
yang pernah terjadi dalam hidupku. Terimakasih, karena telah memberikan kasih
sayang dan kenangan yang indah. Terimakasih karena telah bersedia menjadi
sahabatku, mengenalku, menjagaku, dan telah bersedia kujadikan tempat sampah
bagi segala keluh kesahku. Kau yang selalu paling cerewet karena aku tak pernah
bisa berhasil pacaran, dan akan gencar mengolokku karena tak pernah berani
mengatakan cinta pada seseorang yang selama ini kucintai. Hei.. kau tahu semua
tak semudah saat kau mengatakannya. Aku bukan kau yang selalu mengumbar cinta,
kkk aku bercanda.
Tapi, meski tidak secara langsung kukatakan padamu, aku akan
menepati janjiku untuk mengenalkan seseorang yang diam-diam kucintai. Seseorang
yang tak pernah mendengar pengakuan cintaku.
Kau tahu, aku telah lama mengenalnya, mungkin 17 tahun. Tapi kupikir
rasa yang kualami hanyalah sebatas rasa yang selama ini saling kubagi
dengannya. Kasih sayang. Tapi ternyata, semakin hari aku selalu melihatnya
dengan harapan dia juga melihatku, seperti aku melihatnya. Aku ingin dia
mencintaiku, seperti aku mencintainya. Dia adalah hal terindah yang pernah
terjadi dalam hidupku. Ciptaan Tuhan yang sangat kukagumi dan kusyukuri
keberadaannya. Dia seseorang selalu membuatku tersenyum, selalu memberiku
kekuatan setiap kali aku merasa lemah. Dia, memberiku kenangan terakhir yang
taka akan pernah kulupakan seperti apa rasa dan kehangatnnya.
Untuk pertama kalinya dia mengecup dahiku, mengatakan, “Aku sayang
padamu.” Berulang kali dalam waktu kurang dari satu jam. Kau tahu Keenan, dia
adalah sahabat terbaikku. Seseorang yang selalu ingin kukenalkan padamu,
seseorang selama ini ingin kudengarkan kalimat, “Aku mencintaimu.”
Dialah sahabatku. Kau. Keenan Putra Atmadja.
Dan sekarang aku akan mengataknnya pada seseorang itu. Padamu.
Simak baik-baik karena aku tak akan mengatakannya lagi.
“Keenan, kaulah yang selama ini ingin kukenalkan padamu. Kau lah
yang selama ini membuatku seperti pengecut di depanmu karena hanya mampu
mencintai dalam diam. Kee.. maaf, karena aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.
Sahabatku. Maukah kau menjadi sahabat hidupku selamanya?”
Kau yang selalu kurindukan. Terimakasih. Maaf.
Salam rindu untukmu.
Sahabatmu, Fay.
Keenan menutup kertas di tangannya. Bahunya bergetar, tangisnya
pecah. Dia sama sekali tak peduli dengan tatapan orang disekitar pemakaman.
Kemeja hitam yang membalutnya tampak basah dibagian dada, Keenan menangis.
Tangis yang sarat akan luka dan penyesalan.
“Fay... kau.. maafkan aku.”
END.
Kudus, 04 Juni 2015
Aku suka narasimu, Mbak...
BalasHapusSedihnya ini cerita :'(
Huhuhu.. makasih banyak Dek Sokhi... tapi sayangnya banyak banget typo yang tersebar :3 (skip edit) xD
Hapus