Kamis, 04 Juni 2015

You; My Secret Love



 You; My Secret Love

“Mengapa ada cinta, jika sakit selalu saja menyertainya?”
“Apa maksudmu?” kau mengerutkan kedua alismu, menoleh penuh ke arahku. Aku tersenyum, “Kau tahu Keenan? Cinta itu terlalu rumit untuk dimengerti. Terlalu manja untuk dipahami.” Dari ekor mataku, kau tampak semakin menyipitkan matamu karena bingung dengan kalimatku, kurasa.
“Dan yang aku tahu, Fay, kau lebih rumit, sekaligus membingungkan daripada cinta yang kau bicarakan. Sungguh aku tidak mengerti, kau ini kenapa?”
bicaramu terdengar lucu, nada kesalmu membuatku selalu ingin mengulum senyum. Bukan berarti aku ingin membuatmu merasa kesal terus, bukan. Hanya saja kau menjadi lebih seperti anak kecil jika sedang menunjukkan kekesalanmu, seperti tadi.
“Hah! Lihat, kau tersenyum, heh?”
“Kee... kau tahu, kau tampak seperti—“
“Seperti anak kecil jika aku sedang kesal seperti ini, begitu kan yang ingin kau katakan?” jantungku, kurasa sempat berhenti berdetak selama mendengarmu melanjutkan kalimat yang ingin kukatakan, juga beberapa detik setelah kau selesai bicara.
Apa kau bisa mendengar suara hatiku? Maksudku, apa kau bisa membaca pikiranmu, bagaimana..
“Hey, kau bingung bagaiamana aku bisa tahu?” lagi, kau membuat jantungku berhenti memompa darah. Sial, Keenan!
Aku mengangguk, pelan. Ragu dan takut, kalau-kalau ternyata kau benar bisa membaca pikiranku maka itu artinya kau..
Menghela napas, kau tampak memutar mata ke arahku dengan tatapan kesal. Gemas. “Fay... setiap hari, kau selalu mengatakan hal itu kepadaku tiap kali aku merasa kesal. Oh ya ampun, apa sakit membuat otakmu menjadi agak aneh? Gara-gara obat?” aku menahan senyum, melihat matamu yang mengerling jahil padaku. Ah, leganya. Rahasiaku, tetap aman.
“Hmm, sepertinya begitu,” jawabku.
Hening. Kau terlihat sibuk dengan ponselmu, dan sepertinya kau juga tak mendengar jawaban singkatku tadi—lebih tepatnya—tak menghiraukan jawaban tak penting tersebut. Entah karena hening atau apa, aku merasa bau obat-obatan tercium semakin dalam saat ini, beda dengan saat tadi kau dan aku asik bicara. Apa ini karena panca inderaku tak memiliki pekerjaan lain, setelah kau sibuk dengan benda kecil di tanganmu itu? Bahkan suara ketukan langkah kaki para perawat mau pun dokter terdengar jelas seperti gerakan tap dance.
“Bagaimana kabarmu, Kee?” tanyaku akhirnya, memeberanikan diri memecah keheningan menyebalkan yang mengganggu.
Kau mengangkat wajahmu seketika dari layar ponsel. Tersenyum manis, seakan meminta maaf karena mengabaikanku, lalu kau meletakkan ponsel warna hitam itu di atas meja kecil di sampingku, “Aku baik. Sangat baik. Kau juga harus baik-baik saja Fay..” aku mengangguk mendengarmu.
“Aku selalu berusaha baik-baik saja, kau tahu itu. Lalu.. bagaimana dengan...” tenggorokanku terasa kering, sulit sekali mengucapkan nama itu, meski sudah ribuan kali aku mencobanya dan membiasakannya.
“Adel?” tebakmu, aku pun mengangguk berusaha menampilkan senyum biasa padamu.
“Ah, kau tahu dia sangat merepotkan! Membuatku pusing dengan ini dan itu, terkadang dia manja hingga membuatku gemas, tapi terkadang dia menjadi galak membuatku kewalahan untuk memahaminya. Dia sehat, dan tentu saja dia baik-baik saja, begitu juga dengan bayi kami.”
Bayi kami? Mataku terasa perih seakan terbakar mendengar kalimat panjangmu, juga dua kata terakhirmu. Bayi kami. Keenan, kau tahu jantungku terasa melemah, hatiku perih mendengar hal itu, namun aku juga bahagia untukmu karena kau terlihat sangat bahagia dengan kehidupanmu saat ini. hal itu tampak jelas terpancar dari kedua mata hitammu yang indah.
“Kau terlihat sangat bahagia, aku senang melihatnya,” ucapku tulus. Kau tersenyum, menekuk wajah karena malu. Dasar, kau. Aku pun tersenyum sendiri melihat tingkahmu.
“Kau tahu Fay, setiap hari aku selalu berpikir tentangmu. Aku sedih, aku terluka melihat kau sakit. Sahabat terbaikku, yang selalu ceria dan membuatku tersenyum bahagia kini terjebak di ruangan yang—aku tahu sangat dibencinya.”
Keenan...
Aku tersenyum. Memaksa tersenyum dan menahan laju airmataku yang ingin menerobos keluar dari pertahananku, kuberanikan diri menyentuh tanganmu. Hangat. Selalu seperti itu setiap kali aku menggenggam tanganmu. Sudah berapa lama aku tak menggenggam tangan ini?
“Aku baik-baik saja, Kee. Jangan khawatir, aku tetap sahabatmu yang ceria..” kau mengangguk, dan dapat kulihat genangan bening bersarang dikedua matamu. Kumohon jangan menangis.
“Hey.. apa itu?” tunjukku ke arah matamu, kau menyadari apa maksudku dan segera memejamkan mata, menyekanya sambil terkekeh.
“Cepatlah sembuh. Aku ingin kau main ke rumahku, mengobrol denganku dan Adel, memasak bersamanya di dapur kami. Fay..., kau bahkan tak pernah menemuiku setelah acara pernikahanku saat itu. Kau menghilang, kau bersembunyi. Kupikir kau marah karena aku mendahuluimu, tapi ternyata kau terjebak di sini.”
Aku menunduk, merasa benar-benar tak sanggup untuk lebih lama menahan sesak dan juga desakan airmata yang sejak tadi menggedor untuk keluar. Aku runtuh. Jika kau berpikir aku marah, maka itu benar. Aku marah Keenan, sangat marah! Terhadap diriku yang telah lancang mencintaimu melebihi sahabat. Aku marah, karena aku mengharapkanmu menjadi milikku. Aku serakah karena menginginkanmu, Keenan. Mungkin karena ini lah Tuhan menghukumku, dan aku mensyukuri semua ini karena ini terjadi kepadaku, bukan kepadamu.
Tak bisa kubayangkan jika penyakit ini memilihmu, aku akan sangat terluka melihatmu menahan sakit dan menderita. Bahkan Adel pun mungkin akan sangat hancur jika kau lah yang mengalami sakit ini. untuk itulah aku besyukur bukan kau, tapi aku.
“Maafkan aku karena tak menyadari penderitaanmu, Fay. Kau sakit, tapi aku malah memaksamu menemaniku dan Adel mengurus pernikahan. Seharusnya kau bilang kalau kau—“
“Kalau aku sakit? Kau ingin aku bilang ‘Keenan, maaf aku tak bisa ikut serta mengurus persiapan pernikahanmu karena aku sakit. Jantungku mengalami kebocoran, dan aku tak boleh terlalu lelah karena itu akan membunuhku.’ Kau ingin aku mengatakan itu?” kau menunduk, lalu kembali menatapku dengan tatapan terluka. Dapat kulihat dengan jelas, jika perlahan cairan bening itu meluncur dari matamu dan membentuk sebuah anak sungai di wajah tegasmu. Jangan menangis..
“Fay, aku..”
“Kau kira apa yang akan kau lakukan jika aku mengatakannya padamu? Aku tahu, kau akan menghentikan pernikahanmu, kau akan mengundurnya lalu bertindak seolah kau pahlawan yang siap ada membantuku. Dan itu akan melukai Adel, juga mimpi kalian. Aku tidak ingin itu terjadi, lagipula aku masih kuat dan—“
“Sssttt... maafkan aku. Maafkan aku, Fay. Aku sayang padamu..” kau memelukku, memberiku ketenangan yang luar biasa, bahkan jantungku yang lemah terasa sedikit memiliki alasan untuk bertahan.
Keenan aku mencintaimu. Kalimat itu selalu berhenti diujung lidah, dan hatiku berteriak sakit setiap kali aku menahannya.
“Aku juga sangat menyayangimu. Jangan sedih, aku baik-baik saja, Kee..”
“Aku tahu, kau baik-baik saja, di depanku. tapi aku juga tahu kau terpuruk, kau takut, kau sedih. Bukankah kita sahabat? Kenapa kau menyembunyikannya dariku? Aku marah karena kau—“
“Maaf. Aku tahu kau pasti akan secerewet ini, makanya aku tak memberitahumu, dan menghilang.” Kau terkekeh dalam tangismu, menepuk punggungku pelan sebagai balasan ucapan candaku. Aku tersenyum menikmati.
“Betapa hebatnya diriku, telah berhasil membuat seorang idola kampus sepertimu menangis seperti sekarang,” ucapku.
“Hmm.. kau beruntung melihatku menangis, karena airmataku sangat mahal.”
“Itu karena aku special, makanya aku beruntung.” Kau melepas pelukanmu, membuatku sedikit kecewa karena jarak sejengkal kembali memisahkan kedekatan tubuh kita. Dengan lembut kau mengusap airmataku.
“Berjanjilah padaku, kau akan sembuh. Aku ingin kau melihat anak kami lahir, lalu menggendongnya. Akan kuberikan kau hak akses spesial kepada anakku nanti untuk menjadi orang pertama yang menggendongnya. Aku ingin kau melihatnya, aku sangat ingin memperkenalan kalian. Jadi berjanjilah kau akan sembuh, Fay..”
“Kau membuatku menangis.”
“Fay.. berjanjilah.” Aku tersenyum, menggeleng pelan padamu.
“Keenan, kau tahu bukan? Aku tak ingin membuat janji yang aku sendiri tak tahu bisa menepatinya atau tidak. Selama aku bisa memiliki peluang untuk menepatinya, aku pasti berjanji. Tapi untuk hal ini.. aku tidak tahu,” airmataku tak bisa membohongi betapa hancurnya aku dengan kenyataan ini. rasanya aku ingin mewujudkan keinginan Keenan, tapi tubuhku... aku tahu aku tak mampu bertahan lebih lama.
“Maafkan aku—“
“Kau tidak boleh berpikir hal yang belum tentu terjadi. Tidak boleh, Fay. Aku yakin kau pasti sembuh, jadi kau pun juga harus yakin jika kau akan sembuh dan kembali seperti dulu. Kau bahkan belum menyatakan cinta pada pemuda yang diam-diam kau suka itu, iya kan? Kau juga belum mengenalkannya padaku!”
Mengenalkannya padamu? Bagaiaman caranya aku menegnalkannya padamu, jika seseorang kucintai itu kau, Keenan? Sahabatku. Pemberi semangat hidupku. Aku tersenyum, pedih melihatmu. Sorot matamu menyiratkan luka, aku tahu kau sedih melihatku seperti ini, tapi aku lebih sedih melihatmu terluka seperti ini.
Kau meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat lalu kau mengangkat wajah memandangku dengan tatapan yang jauh berbeda dari yang kau perlihatkan beberapa detik lalu. Ada ketegaran di sana, seakan kau ingin menyalurkan keoptimisanmu untukku yang tampak putus asa.
“Apa pun yang terjadi, aku yakin kau pasti bisa melewatinya dengan baik. Kau pasti sembuh, aku yakin itu.” Senyummu merekah, aku mengangguk meremas tanganmu,. Rasanya aku tak ingin melepas tangan hangat ini, selamanya.
“Kau pulanglah,” perintahku.
kau menggigit bibir bawahmu, tanda jika sebenarnya kau berat untuk meninggalkanku sendirian di sini, aku tahu karena kau selalu seperti itu selama ini. setiap kali kau merasa harus berada di sisiku, tapi keadaan tak mengijinkan kau pasti bersikap seperti saat ini, menggigit bibir, dan menatapku dengan tatapan yang seolah berkata, “Maafkan aku, sesungguhnya aku tak ingin pergi. Tapi aku harus.. pergi.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan mati setelah kau keluar nanti.”
“Kau ini bicara apa?!” lihatlah, matamu melebar. Ketakutan dan amarah terlihat jelas di matamu. Keenan, sebenarnya apa artinya diriku untukmu? Kenapa kau selalu mengistimewakan aku sehingga terkadang aku merasa kau mencintaiku seperti kau mencintai seorang perempuan. Membuatku akhirnya terjatuh ke dalam pemikiranku sendiri dan tak bisa keluar.
“Sudahlah, aku hanya bercanda, oke?”
“Tapi tetap saja, bercandamu itu..”
“Jadi kau sedang memarahi seorang pasien, sekarang? Kau tidak takut akan diusir dari ruangan ini dan tidak diperbolehkan menjenguk lagi, nantinya?” mataku mengerling jahil padamu, dan kau pura-pura memasang wajah cemberut tapi menahan senyum lucu yang membuatku semakin gemas melihatnya.
“Aku tahu kau tidak akan pernah melakukannya, karena kau tak bisa menolakku. Fay, terlalu menyayangi Keenan. Benar begitu?” senyum mengembang sempurna di wajah tampanmu, lalu kau memberikan garakan yang sudah sangat lama kurindukan. Mengacak rambutku.
“Aku merindukan ini,” gumamku pelan, berharap kau tak mendengarnya. Tapi kupikir kau berhasil mendengarnya, karena kau kembali diam, dan sisa senyum di wajahmu perlahan memudar digantikan senyum paksa yang terlihat pahit. Tatapan matamu pun kembali sendu. Entah apa yang kau pikirkan, sehingga raut wajahmu berubah seperti itu.
“Pulanglah...” kataku.
Mengangguk kecil, perlahan kau berdiri, tapi tidak melepaskan genggaman tanganmu. “Aku pulang.. kau harus baik-baik saja di sini,” aku mengangguk “Jika kau bosan kau bisa menelponku, skype, atau kau bisa membaca novel yang kubawakan hari ini.” kau semakin erat menggenggam tanganku, dengan berat hati aku berusaha melepasnya, mengangguk dengan isyarat untuk segera menyuruhnya pergi.
“Aku sayang padamu.” Jantungku kembali berhenti berdetak, saat kurasakan bibir basahmu menempel sempurna di dahiku. Dan tanpa bisa kutahan, airmata kembali mengalir deras dari mataku. Jika bisa, Ya Tuhan.. aku ingin waktu berhenti sekarang juga. Kedua mataku memejam, berusaha merekam rasa kecupanmu, mengingat kehangatan dan kelembutan yang kau berikan. Tiga detik. Tiga detik dalam hidupku yang tak akan pernah kulupakan.
“Aku pergi,” pamitmu melepaskan ujung jariku.
Aku mengangguk, menatapmu yang berbalik perlahan. Berjalan pelan ke arah pintu ruangan. Entah mengapa rasa ini terasa sangat berat, lebih berat dan sakit saat melihatmu memasangkan cincin ke jari Adel.
“Keenan..” panggilku, serak. Airmata tak mampu kuhentikan lajunya, aku tak memiliki daya untuk melakukannya.
Kau berhenti, meoleh dengan sangat cepat ke arahku. Hatiku mencelos, saat melihat airmata dengan derasnya membasahi wajahmu. Bahumu bergetar, tapi kau tetap memaksakan senyum untukku.
“Hmm..”
“Jangan lupakan aku. Ingatlah aku seperti kau yang selalu mengingat sunrise pertama yang pernah kita lewati.” Kau mengangguk, isakan tertahan terdengar memilukan di telingaku. Merobek pertahananku, membuatku ingin meluncurkan kalimat yang selama ini hanya dapat kutahan di ujung lidah.
“Aku juga sayang padamu.” Dan aku mencintaimu, lanjutku dalam hati.
Kau mengangguk lemah, kemudian berbalik pergi. Kali ini kau benar-benar pergi, menghilang setelah pintu berwarna coklat itu tertutup.
Aku tak tahu, apa aku bisa bertahan lebih lama atau tidak. Hanya saja firasatku mengatakan, jika ini adalah perpisahan kita yang sebenarnya.
***
Keenan membuka lipatan kertas yang baru saja diberikan Adel untuknya. Wajah tampannya terlihat mendung menyimpan duka yang sangat mendalam, bahkan kedua matanya masih tampak basah airmata. Dengan tangan bergetar dia membukanya, mengambil napas dalam untuk mempersiapkan dirinya.
Airmata Keenan kembali merebak, setelah melihat tulisan tangan yang sangat dikenalinya.
“Fay..”
Keenan...
Jika kau membaca ini, kuminta kau tersenyum tampan seperti biasanya. Jangan lagi menangis karena itu sangat melukaiku. Kau tahu, kau adalah sahabat terbaikku, seseorang sangat penting bagiku. Aku tidak menyangka jika kini, kau sudah menikah, mendahuluiku. Jahat sekali! Tapi tentu saja aku bahagia, sangat bahagia untukmu dan Adel.
Maafkan aku, karena tak bisa mengenalkanmu dengan seseorang yang kucintai selama ini, lagi pula kami tak lagi bisa bersama. Juga, maaf karena tak bisa memenuh janjimu untuk sembuh, kau tahu sudah berusaha sebaik yang kubisa untuk bertahan karena aku ingin bersamamu, dan menggendong anakmu, memasak bersama istrimu. Aku sangat ingin melakukannya, tapi sayang Tuhan terlalu sayang padaku sehingga tidak membiarkanku melakukan hal-hal yang kau rencanakan.
Keenan, selamanya aku selalu mengingatmu. Kau adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku. Terimakasih, karena telah memberikan kasih sayang dan kenangan yang indah. Terimakasih karena telah bersedia menjadi sahabatku, mengenalku, menjagaku, dan telah bersedia kujadikan tempat sampah bagi segala keluh kesahku. Kau yang selalu paling cerewet karena aku tak pernah bisa berhasil pacaran, dan akan gencar mengolokku karena tak pernah berani mengatakan cinta pada seseorang yang selama ini kucintai. Hei.. kau tahu semua tak semudah saat kau mengatakannya. Aku bukan kau yang selalu mengumbar cinta, kkk aku bercanda.
Tapi, meski tidak secara langsung kukatakan padamu, aku akan menepati janjiku untuk mengenalkan seseorang yang diam-diam kucintai. Seseorang yang tak pernah mendengar pengakuan cintaku.
Kau tahu, aku telah lama mengenalnya, mungkin 17 tahun. Tapi kupikir rasa yang kualami hanyalah sebatas rasa yang selama ini saling kubagi dengannya. Kasih sayang. Tapi ternyata, semakin hari aku selalu melihatnya dengan harapan dia juga melihatku, seperti aku melihatnya. Aku ingin dia mencintaiku, seperti aku mencintainya. Dia adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku. Ciptaan Tuhan yang sangat kukagumi dan kusyukuri keberadaannya. Dia seseorang selalu membuatku tersenyum, selalu memberiku kekuatan setiap kali aku merasa lemah. Dia, memberiku kenangan terakhir yang taka akan pernah kulupakan seperti apa rasa dan kehangatnnya.
Untuk pertama kalinya dia mengecup dahiku, mengatakan, “Aku sayang padamu.” Berulang kali dalam waktu kurang dari satu jam. Kau tahu Keenan, dia adalah sahabat terbaikku. Seseorang yang selalu ingin kukenalkan padamu, seseorang selama ini ingin kudengarkan kalimat, “Aku mencintaimu.”
Dialah sahabatku. Kau. Keenan Putra Atmadja.
Dan sekarang aku akan mengataknnya pada seseorang itu. Padamu. Simak baik-baik karena aku tak akan mengatakannya lagi.
“Keenan, kaulah yang selama ini ingin kukenalkan padamu. Kau lah yang selama ini membuatku seperti pengecut di depanmu karena hanya mampu mencintai dalam diam. Kee.. maaf, karena aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Sahabatku. Maukah kau menjadi sahabat hidupku selamanya?”
Kau yang selalu kurindukan. Terimakasih. Maaf.

Salam rindu untukmu.
Sahabatmu, Fay.

Keenan menutup kertas di tangannya. Bahunya bergetar, tangisnya pecah. Dia sama sekali tak peduli dengan tatapan orang disekitar pemakaman. Kemeja hitam yang membalutnya tampak basah dibagian dada, Keenan menangis. Tangis yang sarat akan luka dan penyesalan.
“Fay... kau.. maafkan aku.”

END.


 Kudus, 04 Juni 2015




2 komentar:

  1. Aku suka narasimu, Mbak...
    Sedihnya ini cerita :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huhuhu.. makasih banyak Dek Sokhi... tapi sayangnya banyak banget typo yang tersebar :3 (skip edit) xD

      Hapus